CERPEN UNTUKMU PARA WANITA HEBAT
(Karya Ibu Ida Tyas Wening, S.Pd.)
Di bawah cuaca terik siang ini perkenalkan namaku Widia. Aku lahir dari pasangan romatis, Pak Ahmad dan Bu Siti. Aku anak pertama dari lima bersaudara, Faiz, Tari, Amir dan Umar adalah adik-adikku. Walaupun namanya Amir dan Umar tapi mereka bukan kembaran. Mereka selisih dua tahun. Ibu bapakku bekerja menjadi pegawai di salah satu lembaga pemasyarakatan di Solo. Aku ingin sejenak berbagi tentang kisah hidupku. Saat itu aku mendekati lulus dari sekolah menengah pertama, saatnya berniat memberanikan diri bicara sama Bapak. Sore itu angin sepoi menemani Bapak ngopi di teras rumah.
“Pak, aku boleh lanjut sekolah ndak?” perlahan kuutarakan maksud hati sambil duduk di kursi dekat Bapak.
“Sekolah!?” jawab Bapak dengan agak kaget. Ya maklum, mungkin Bapak tidak tega kalau aku harus melanjutkan sekolah di tempat yang jauh. Di daerah rumahku belum ada SMA pada saat itu.
“Iya, Pak. Sekolah lagi. Widia ingin lanjut SMA,” pintaku pada Bapak.
“Bapak sebenarnya mendukung kalau kamu ingin sekolah lagi, tapi kamu harus belajar lebih mandiri, karena kamu akan jauh dari Bapak maupun Ibu,” kata Bapak dengan bernada menasehati.
“Iya, Pak. Widia janji akan lebih mandiri,” kataku dengan yakin. Aku senang sekali mendengar jawaban Bapak yang mendukungku untuk melanjutkan sekolah.
Beberapa hari kemudian disaat aku sedang menikmati liburan kelulusanku, ibu datang menghampiriku yang sedang duduk di pojok ruang tamu, “Kamu bener-bener mau lanjut sekolah, Nduk?” tanya Ibuk.
“Iya, buk. Aku pengen lanjut SMA,” jawabku yakin.
“Ibuk boleh bilang sesuatu, Nduk?” tanya ibu lembut sambil membelai ikal rambutku.
“Ada apa, Buk?” was-was hatiku, takut Ibu tidak setuju.
“Gini, Nduk. Ibu mendukung kamu semangat lanjut sekolah. Biar kamu kelak jadi wanita sehebat Kartini yang tak putus asa mencari pendidikan yang lebih baik,” terdengar Ibu menghela nafas, berkaca-kaca melanjutkan perkataannya,” Tapi gini ya, Nduk. Kamu harus sadar kalau cita-citamu itu akan tidak mudah terlaksana. Bapak Ibukmu ini kan cuma pegawai lapas. Gajinya Bapak Ibu itu minim. Kalau kamu memang benar-benar yakin mau lanjut sekolah, seumpama suatu saat Bapak Ibu nanti pas ndak punya duit, kamu harus siap lho ya?”
“Siap apa, Bu?” aku bertanya begitu polos saat itu.
“Ya siap untuk ndak punya uang saku. Padahal kamu nanti ngekos, tinggal jauh dari Bapak Ibu. Akan sulit saat tidak ada uang saku berlebih. Kudu teteg, Nduk. Gimana, siap tidak?” kembali Ibu bertanya menyakinkan.
“Iya, Bu. Widia siap. Inspirasi Bu Kartini sudah masuk ke hati Widia, Bu. Saat itu halangan untuk Beliau sekolah jauh lebih besar dari Widia, tapi Bu Kartini tetap semangat belajar. Jadi kalau hanya masalah uang dan ngekos, Widia siap . Itu kan konsekuensi yang harus Widia terima,” jawabku menyakinkan Ibu. Mendengar Ibu berkata demikian tidak membuatku patah semangat. Ibu selalu jadi orang terdepan sebagai penyemangatku. Ibu hanya ingin menunjukkan kenyataan di depanku agar aku nantinya benar-benar kuat. Ini membuat diriku lebih semangat belajar di SMA. Di sana akan kubuktikan kepada Bapak dan Ibu bahwa aku akan berprestasi.
Hari yang kutunggu pun tiba. Ya benar, itu adalah hari pertama aku masuk ke SMA. Saat itu aku diterima di salah satu SMA di Solo. Lelah di perjalanan tak begitu kurasakan. Yang ada adalah tekad untuk belajar sebaik-baiknya meski jauh dari rumah.
Suatu hari ternyata omongan Ibu yang dahulu menjadi kenyataan. Bapak tak kunjung mengirim uang keapadaku. Setiap hari aku menunggu pak pos dengan harapan ada kiriman wesel diantarkan padaku. Karena aku belum bisa membayar kos bulan itu, kuberanikan diri berkata pada Pak Hasyim pemilik kamar kost yang kutempati.
“Maaf, Pak Hasyim. Boleh mengganggu?” tanyaku setengah menahan malu.
“Iya, ada apa dek Widia?” Pak Hasyim meletakkan gembor penyiram tanamannya dan duduk di kursi penjalin yang ada di teras.
“Begini, Pak. Saat ini Bapak saya belum kirim uang. Bolehkah Widia bayar kosnya digabung untuk bulan depan?” tanyaku dengan memohon.
“O iyo, Nduk rapopo. Bapak ngerti kondisi kamu,” jawab Pak Hasyim pengertian.
“Terimakasih banyak Pak Hasyim. Sungguh, sekali lagi terimakasih,” kataku lega. Untuk makan aku masih bisa berhemat dari sisa uang saku yang ada, kadang ya puasa. Kadang untuk makan dan minum aku sesekali ngebon di warung dekat kosku berhari-hari sampai bapak mengirim uang kepadaku. Tetapi belajar tetap kunomor satukan. Tak patah oleh lapar maupun malu belum bayar uang kos. Kembali muncul semangat setiap kali mengingat perjuangan Kartini dulu pasti lebih berat dari masalahku ini. Surat – surat dari Ibu kubaca berulang saat diri bersimpuh pasrah penuh air mata. Ibuku benar – benar penyemangatku yang lain. Mereka adalah wanita hebat inspirasiku di dunia ini.
Singkat cerita, tekad itupun akhirnya bisa aku buktikan selama tiga tahun aku belajar di SMA. Begitu lulus, aku mencoba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Saat itu aku mendaftar di UNDIP Semarang mengambil prodi Bahasa Inggris, dan di UNS Solo mengambil pendidikan kewarganegaraan. Hari yang kutunggu datang. Ya.. itu hari pengumuman penerimaan PTN.
“Ini harinya. Hari untuk buktikan semuanya,” gumamku dalam hati sambil kubuka lembaran koran Solopos. Perlahan menelisik nama demi nama.
“Alhamdulillah, Engkau kabulkan doaku,”ucapku penuh syukur. Aku memilih yang di UNS walaupun aku juga dinyatakan diterima di UNDIP, karena pertimbangan jarak dari rumah. UNS lebih dekat, akan lebih hemat biaya. Pun seperti dahulu, bekal materi dari Bapak Ibu memang tetap tak berlimpah, tetapi cukup doa dan dukungan mereka menjadi penyemangatku. Akan kulalui hari kuliah dengan penuh semangat. Hanya ada keyakinan bahwa pendidikan yang lebih baik akan membawaku jadi wanita setangguh Kartini, seperti kata Ibuku dahulu. Untukmu para wanita hebat inspirasiku, terimakasih sudah menjadi penyemangatku di hari-hari perjuanganku untuk sekolah.
Demikianlah sedikit kuberbagi, kututup dengan kata Ibu Kartini yang kutulis sepenuh hati di buku harianku,” Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang”.
PUISI SUASANA RAMADHAN KARYA GURU & KARYAWAN SMA NEGERI 2 WONOGIRI
Bagi umat Islam, bulan Ramadhan sungguh istimewa. Setiap kegiatan di bulan ini menginspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Bulan puasa kali ini masih seperti tahun lalu yang dilakukan dalam suasana pandemi Covid-19. Beberapa kegiatan masih harus dilakukan dengan protokol kesehatan. Bersyukur, keadaan sudah menjadi lebih baik dan beberapa hal sudah dilonggarkan. Semangat syukur sepenuh hati ini dituangkan oleh Bapak Kepala Sekolah SMA N 2 Wonogiri, Sumanto, S.Pd., M.Pd, dalam puisinya yang berjudul Ramadhan Pandemi berikut ini
RAMADHAN PANDEMI
(Oleh: Sumanto, S.Pd., M.Pd.
Selalu indah bila Ramadhan tiba,
Apalagi malam ini
Ketika kaki boleh melangkah tarawih
Di masjid dekat rumah.
Setahun lalu,
Karena pandemi bermunculan imam di rumah masing-masing
Biarpun Ramadhan berselimut ketakutan
Hati damai menyatu dengan keluarga
Selalu gembira menyambut hadirmu, Ya Ramadhan
Meski suasana tak selalu sama.
Dalam Ramadhan banyak ditemukan keberkahan. Bahkan sahur pun membawa begitu banyak keberkahan yang harusnya kita syukuri sepenuh hati. Sesederhana apapun itu. Berikut ini sebuah puisi karya Bapak Wakas Humas SMAN 2 Wonogiri yang terinspirasi dengan indahnya suasana sahur bersama keluarga kecil beliau.
SAHUR TERINDAH
(Oleh : Wardoyo, S.Pd, M.Pd.)
Kuterbangun dalam tidurku
Kubersyukur hpku berdering kencang
Yang selalu mengingatkan untuk cepat bangun dan bersujud
Kuberdoa untuk seluruh keluarga, saudara serta teman
Aku nyalakan api ,rebus air dan memanasi sayur untuk bekal makan sahur
Kutata di meja semua menu yang ada
Kubangunkan keluarga kecilku untuk bersantap sahur bersama
Kunikmati yang ada seraya berdoa dan bersukur pada Illahi
Terimakasih ya Alloh masih Kau beri kehidupan indah pada keluarga kecilku
Puisi berikutnya berjudul Sujud karya Ibu Dyah Hayu Novia, S.Pd. Kegiatan ibadah pada bulan Ramadhan semakin membawa kita lebih khusuk mendalamkan sujud di atas sajadah. Untaian kata puisinya ringkas tetapi begiti dalam penuh makna.
SUJUD
(Oleh: Dyah Hayu Novia, S.Pd.)
Diatas sajadah usang, di sepertiga malam itu,
Hening,
Syahdu,
Tersuruk harapan berujung kecewa
Pada asa yang hampir terputus.
Lantunan Istighfar dan tasbih berhamburan
Bergulir bercampur derai air mata
Sepenuh hati dibisikkan lirih ke bumi.
Bersimpuh,
Berserah,
Berpasrah,
Berharap doa dimengerti Langit,
Memohon Ampunan Illahi Rabbi.
Meski masih dalam banyang-bayang pandemi, janganlah hal tersebut menyurutkan semangat kita. Kita harus selalu yakin bahwa semua akan indah pada waktunya, seperti judul puisi karya Ibu Syarifah, S.PdI berikut ini.
INDAH PADA WAKTUNYA
(Syarifah, S.PdI
Saat riak riak dunia
Tak seindah mimpi dan harapan
Saat kenyataan yang hadir di depan mata
Tak sejalan dengan angan angan
Saat cinta yang menggelora
Tak bersambut bertepuk sebelah tangan
Sejuta rasa memasung raga
Sedih tak berdaya
Galau membelenggu jiwa
Kecewa dan terluka
Bukankah Tuhan telah berjanji
Segala yang terjadi telah diukur olehnya
Takkan melebihi daya pundak kita
Bukankah Tuhan telah menggariskan
Setiap ujian yang menyapa
Menguatkan tumpuan kaki kita
Membersihkan dosa-dosa
Menjawab doa-doa
Setiap ujian yang menyapa
Menyadarkan bahwa ada Yang Maha Pengasih tempat kita meminta
Memahamkan bahwa bersyukur meyelesaikan segalanya
Mengajarkan untuk bersabar dan semua akan baik baik saja
Di saat ujian menyapa
Teruslah berupaya
Melangitkan doa-doa
Yakin dan percaya
Semua akan indah pada waktunya
Mari kita laksanakan semua kegiatan ibadah pada bulan mulia ini dengan optimis dan penuh suka cita hingga saat berbuka tiba. Puisi berikut ini membawa seluruh kegembiraan berbuka puasa dengan pilihan kata – katanya yang ringan saja.
BERBUKALAH DENGAN YANG MANIS
Semanis Kenanganku Akan Dirimu
Iyaa kamuu
Kamu yang sedang berdesakan
Nunggu tibanya bis mudik gratis
Sambil menenteng sepikul kardus.
Daan kamu juga,
Kamu yang sedang di pojokan
Ngitungin THR sambil tersenyum tipis – tipis
Akankah kebeli tiket pesawat yang bikin meringis.
Aih tak apa teman,
Semua demi yang manis
Yang penuh harap menunggu di rumah.
(By_Misis Dewi)
Pada akhirnya, marilah kita penuhi hari – hari pada bulan Ramadhan dengan kegiatan yang berguna, yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Saling berbagi tanpa ada iri dengki dan kekerasan. Seperti puisi karya Bapak Fuzi Arsyad berikut yang terinspirasi dari hadist yang berbunyi “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (H.R. Bukhari).
MANUSIA BERGUNA
(Oleh ; Fauzi arsyad, S.Pd.
Aku ingin jadi elang putih
Terbang di langit yang damai
Bernyanyi-nyanyi tentang masa depan
Aku ingin jadi matahari
Menyinari bumi
Membawa cahaya kehidupan
Aku ingin jadi manusia teladan
Saling berbagi rasa
Tanpa belenggu kekerasan
Demikianlah beberapa karya puisi dari Bapak Ibu guru SMA Negeri 2 Wonogiri. Mungkin belum sempurna adanya tetapi semangat menulisnya patut diapresiasi. Semoga mewarnai hari indah anda selama bulan puasa tahun ini.