Segmen Dunia Sastra sebagai salah satu wadah kreatifitas bagi guru dan karyawan SMA Negeri 2 Wonogiri untuk menyalurkan inspirasi, imajinasi dan bakat menulis karya sastra. Mari Bapak Ibu Guru & Karyawan, terus semangat dalam berkarya.
17 Agustus akan selalu menjadi salah satu hari istimewa bagi negara kita tercinta. Upacara bendera diselenggarakan di berbagai penjuru negeri dengan khidmat. Pasukan pengibar bendera menjadi salah satu pemeran upacara yang juga penting. Sebuah cerita pendek karya Bapak Sumanto, M.Pd berikut mengangkat suasana tersebut sebagai temanya.
Tetapi upacara pada hakikatnya bukanlah sekedar seremonial semata, bukan hanya masalah bendera terkerek penuh sampai ujung tiang. Upacara bendera 17 Agustus adalah saat kita merenungkan betapa istimewanya nikmat kemerdekaan dan betapa banyak pengorbanan para pahlawan negeri ini untuk meraihnya. Munculkan tanya dalam diri, pengorbanan seperti apa yang sudah kita coba persembahkan untuk negeri kita? Mari simak ceritanya di sini.
DETIK PENGORBANAN
Agustus. Sebuah bulan yang selalu menjanjikan langit biru. Tapi birunya langit belum tentu menumpahkan sebuah kesejukan karena Agustus juga selalu menawarkan udara panas. Apalagi Agustus pada tahun 2011 ini Ramadhan singgah di dalamnya. Sebuah kewajiban menahan lapar dan minum harus dijalankan oleh mereka yang beragama Islam. Tak terkecuali seorang Rindu dan beberapa temanya yang tergabung dalam pasukan pengibar bendera (paskibra) di kecamatan.
“Bukan sebuah beban berat yang harus diletakkan apabila dijalankan dengan ikhlas”.
Kalimat itu selalu terngiang di telinga Rindu. Sebagai petugas pengibar bendera, Rindu dan beberapa teman lainnya tak boleh menyerah oleh keadaan yang sebenarnya tak begitu nyaman ketika harus menerima tugas di saat mereka sedang puasa. Mereka pantang mundur walau haus mendera karena kerongkongan telah kering kerontang. Dan, tetap tegap melangkah dalam satu komando latihan baris-berbaris di bawah terik matahari bulan Agustus.
Rindu. Sebuah nama yang kini sedang diperbincangkan banyak orang. Perbincangan menarik tentang Rindu berawal dari lapangan tempat latihan upacara, kemudian dibicarakan oleh para pegawai kecamatan dan pelatih paskibra. Bahkan, sekarang menjadi perbincangan hangat di sekolah Andino. Tidak hanya guru dan siswa yang memperbincangkan tapi semua penghuni sekolah sudah terkena virus ‘keras kepala’ seorang Rindu.
“Pokoknya tidak!”
Begitulah dua kata yang selalu dilontarkan Rindu, setiap orang mencoba membujukknya untuk berkorban. Jawaban itu juga berlaku untuk Andino, ketua OSIS yang sekarang menjadi teman dekat Rindu (kalau tidak boleh dibilang kekasih, karena keduanya belum pernah berikrar menjadi seorang pacar). Tiga puluh hari mengenal Rindu, sejak MOS dilaksanakan ternyata belum cukup waktu bagi seorang Andino untuk mengenal siapa Rindu. Andino baru menyadari sekarang, bahwa seorang Rindu memiliki sifat yang keras hati.
“Kamu nggak usah menceramahi aku tentang pengorbanan And …”
“Kalau kamu telah paham tentang arti sebuah pengorbanan. Tentunya tak perlu orang harus meminta-minta kepadamu, Rin”, Andino berdiplomasi.
“Kalau kamu tetap memaksa aku untuk mengikuti kemauan mereka. Aku yang mundur”.
“Rin … “.
“Cukup tak perlu kudengar lagi rayuan tentang itu”.
Ada noktah kejengkelan di hati Andino yang berusaha tetap menahan diri. Ia membiarkan Rindu meninggalkannya duduk sendirian di serambi perpustakaan sekolah. Andino jadi tidak begitu mengerti tentang sikap Rindu. Benarkah ia seorang yang teguh berpegang prinsip atau seorang keras kepala sejati.
Sebenarnya semua bermula dari masalah yang sederhana. Siang itu sehabis latihan paskibra, seorang pelatih meminta dengan penuh keikhlasan semua peserta paskibra untuk memotong rambutnya.
“Kalian potong rambut seperti peserta Paskibraka Nasional”, pelatih meminta dengan penuh kesungguhan.
Waktu itu tidak ada yang menolak. Termasuk Rindu.
Sesuatu yang dianggap sederhana, ternyata berubah menjadi petaka ketika di hari berikutnya Rindu datang dengan rambut tetap terurai panjang. Rindu menolak untuk memotong rambutnya. Keputusan Rindu menyinggung perasaan banyak orang.
“Mengapa kemarin kamu diam? Diam kan bisa dimaknai, setuju”, protes Dewi, sahabatnya yang juga petugas paskibra.
“Tanggung Rin, kamu sudah latihan sekian minggu harus mundur gara-gara rambut. Apalagi kamu masuk di barisan inti. Pelatih pusing dong Rin, kalau mencari penggantimu secepat ini”, Dewi melanjutkan.
“Sudah orasinya?”
“Belum. Lagian rambut kan sebulan sudah bisa tumbuh panjang. Gitu kok susah”.
Baru saja Rindu mau menanggapi nasihat Dewi, pelatih sudah berteriak lantang untuk kumpul sebentar. Rindu bisa menebak, pelatih juga akan menceramahi dirinya. Rindu menggerutu dalam hati, “Mengapa dulu dalam seleksi awal tidak dicantumkan sekalian, harus rela potong rambut mirip Polwan. Kalau begitu kan aku bisa menentukan bergabung jadi anggota paskriba atau tidak”.
“Para pahlawan berkorban tidak hanya dengan rambutnya untuk Negara. Keringat, darah, bahkan nyawa mereka berikan untuk Negara”, teriak pelatih lantang.
Rindu mengerti kata-kata pelatihnya itu ditujukan untuk dirinya. Kata-kata itu mencoba mengusik perasaan perempuannya. Menampar pipi halusnya untuk sadar akan sebuah pengorbanan. Bagaimanapun, Rindu tetap menolak. Hatinya tetap teguh pada pilihannya. Sebenarnya Rindu ingin menyampaikan alasan mengapa kemarin ia diam, seolah setuju. Kata-kata Rindu berhenti di pangkal kerongkongan setelah Andino mengingatkan untuk diam. Rindu menunduk seirama dengan puluhan peserta yang lain. Diam dan takut.
***
Pelatih telah meminggirkan Rindu. Tak ada lagi nama Rindu dalam daftar pasukan pengibar bendera. Pengganti Rindu sudah disiapkan. Menurut pelatih tujuh hari menjelang upacara adalah waktu yang relatif singkat untuk sebuah persiapan.
Ada sesuatu yang beda dalam latihan berikutnya. Suasana menjadi tidak nyaman karena pelatih sering memberikan perintah dengan nada tinggi. Apalagi pengganti Rindu dianggap kurang cakap oleh pelatih. Lamban dan kurang tanggap menerima intruksi.
Rindu memang istimewa. Terbukti perginya telah menggoreskan luka di hati semua orang. Tubuhnya yang tinggi semampai merupakan satu alasan mengapa pelatih memilihnya sebagai petugas pengibar bendera. Selain cantik, ia juga memiliki kepercayaan diri yang sempurna. Suaranya lantang dan tegas ketika memberi aba-aba saat bendera duplikat di tangannya mau dikibarkan. Ia cepat paham dengan semua intruksi dan sedikit sekali melakukan kesalahan.
Tiga hari latihan setelah perginya Rindu memberikan hasil yang stagnan. Semua cemas. Keadaan semakin memburuk. Pernah suatu kali Andino serasa mati berdiri oleh suara keras pelatih karena lagi-lagi pengganti Rindu melakukan kesalahan.
“Nggak becus semuanya!!”
Semua menunduk. Takut. Bingung harus bagaimana.
Kabar tentang latihan paskibra yang tidak mengalami kemajuan sampai pada pimpinan sekolah Andino. Keputusan baru telah diambil setelah ada proses mediasi. Rindu ditarik kembali ke pasukan. Rindu mau kembali dengan satu syarat. Tak ada potong rambut untuk dirinya.
***
Tanggal tujuh belas tinggal selangkah lagi. Gladhi bersih sudah selesai dilakukan. Selama gladhi bersih sebenarnya ada pemandangan yang tidak nyaman di hati Andino. Rindu satu-satunya petugas yang berambut sepinggang. Perasaan tidak nyaman dibiarkan hilang terbawa angin oleh seorang Andino. Mungkin juga oleh pelatih dan pasukan pengibar bendera yang lain.
Perasaan tidak nyaman terbawa oleh Andino ke pembaringan. Ia gelisah. Padahal pelatih sudah mengingatkan, tidak boleh tidur terlalu malam. Ada tugas penting esok pagi di hari kemerdekaan.
Sesekali terdengar dari gardu pos ronda orang-orang yang sedang tirakatan. Ia belum bisa tidur juga. Andino mencoba mencari penyebab mengapa ia susah tidur malam ini. Ya, Rindu. Di pikirannya masih bergelayut tentang perasaan tidak nyaman dengan penampilan Rindu ketika gladhi bersih tadi.
“Blm tidur ya …”, Andino mencoba SMS pilihan hatinya. “Kok tahu. Knp you jg blm tidur. Mikirin I ya …?”
“Ah, you. Ge-er. Boleh I call you sbentar!”
“Lama jg boleh. Kalo gak takut ama pelatih. he 3X”
Selesai membaca SMS Rindu, Andino pencet tombol panggil pada Rindu. Ia berharap bisa menceritakan kegalauan hatinya. Lebih jauh berharap bisa mengubah prinsip dan kekerasan hati seorang Rindu. Nada ringtone Pemilik Hati lantunan merdu Armada terdengar di telinga Andino. Indah. Seindah suara yang ditunggu dari seberang sana.
“Kok belum tidur?” Andino membuka percakapan dalam telepon.
“Mau tidur gimana? Bising. Tuh di perempatan orang pada keroncongan”
“Pada lapar kali, hingga perutnya keroncongan?”
“Ah, kamu bisa aja. Lho kamu kenapa juga belum tidur?”
“Kan mikirin kamu”, goda Andino.
Keduanya terlibat percakapan yang seru. Sesuatu yang diharapkan Andino akhirnya menjadi kenyataan. Pembicaraan sampai pada sikap keras hati seorang Rindu, yang tetap kukuh tidak mau memotong rambutnya.
“Memang ada yang aneh, tentang penampilanku di gladhi bersih tadi?”
“Jujur ya Rin, kalau aku saja merasa aneh dengan keputusanmu, apalagi orang lain. Belum lagi besok pagi, ribuan pasang mata menjadi saksi penampilanmu. Jangan salahkan mereka, kalau menilai dirimu arogan, sombong, tidak mau berkorban, sekaligus sangat keras kepala”, Andino sangat hati-hati berkata-kata.
“And, harusnya orang lain bisa berpikir. Siapa yang tidak mau berkorban. Anak kegiatan seperti kita ini telah banyak berkorban juga untuk sekolah”, Argumen Rindu terdengar jelas dari kejauhan tanpa nada emosi.
“Berapa banyak waktu dan tenaga yang kita korbankan untuk sekolah? Itu pengorbanan And …”
“Tapi banyak orang memandang, keputusan kita di kegiatan sebagai bentuk pelarian dari kegiatan belajar Rin …”
“Nah, mereka itu yang berpikiran sempit. Sama kerdilnya ketika besok mereka melihat penampilanku yang berbeda di lapangan”, dari jauh nada bicara Rindu terdengar jelas tanpa adanya sebuah prasangka.
“Pengorbanan apa lagi And …, yang mereka minta?”
“Kita sudah meninggalkan banyak tugas belajar. Hampir satu bulan. Latihan paskibra di bulan puasa dengan rasa haus yang menggelegak. Apakah kita mengeluh. Tidak kan? Pengorbanan itu harus proporsional. Mereka juga harus mengerti, baru itu yang bisa kita korbankan”. Dalam hati Andino memuji ketika Rindu memaknai sebuah pengorbanan. Justru menurut Rindu potong rambut bagi dirinya adalah pengorbanan yang tidak sesungguhnya. Pengorbanan yang ingin dilihat orang lain.
Dari ujung telepon Rindu menjelaskan mengapa ia kukuh tidak mau memotong rambutnya. Setahun lalu ketika ibunya mengalami masa-masa kritis. Ibunya pernah berpesan, agar ia memegang etika jatidiri seorang perempuan. Ibunya sangat suka dengan rambutnya yang hitam panjang tergerai. Rindu masih ingat satu jam sebelum ibunya meninggal, ia berpesan agar Rindu tidak mengubah penampilan sepeninggalnya.
“Ibuku belum seribu hari meninggal And … Masak aku sudah melanggar amanahnya”.
“Tapi, ibumu akan bangga Rin … kalau yang kamu lakukan adalah bagian dari pengorbanan. Walaupun hanya pengibar bendera tingkat kecamatan”.
“Mungkin tahun depan And … kalau aku ikut seleksi paskibra kabupaten dan melangkah menjadi pengibar bendera nasional. Insya Allah aku akan melakukannya”.
“Awalilah dari Sekarang Rin … kalau ingin menjadi pengibar bendera di istana Negara. Kamu memiliki syarat semuanya”.
“Nah … mulai merayu kan?”
“Bukan merayu, hanya kalau kamu berkenan”.
“Heh … sama saja And. Ah … jangan-jangan ini pesan sponsor ya …”
“Sponsor siapa?” Andino pura-pura ndak tahu.
“Ya, pelatih. Atau mungkin sekolah. Kamu kan ketua OSIS. Siapa tahu bisa meluluhkan hatiku. Ah, aku kok ge-er lagi …”
Andino melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya. Dalam pandangannya jam dinding itu memelototinya untuk segera tidur. Beberapa detik lagi pukul sepuluh malam. Ia harus segera tidur walaupun suara-suara di gardu pos ronda semakin ramai saja. Sepertinya mereka asyik memperbincangkan kemerdekaan Indonesia yang sudah 66 tahun lamanya. Sebuah usia yang sudah begitu senja. Semakin renta karena berbagai permasalahan menggerogotinya.
“Kok, diam And …” Suara di seberang membangunkan lamunan Andino.
“Ah, nggak. Aku hanya berpikir betapa indahnya kalau kamu berubah pikiran untuk mau memotong pendek rambutmu. Benar-benar sempurna Rin … kalau kamu mau melakukannya”.
“Kalau aku teguh dengan prinsipku?”
“Bisa jadi aku berpikir ulang untuk menjadikan dirimu sebagai ibu anak-anakku kelak”.
“Hah …??!! Ngacau kamu. Emang kita udah jadi pacar ya? Dan, belum-belum kok sudah ngancam …”
“Bukan ngancam, hanya mengintimidasi. Ha … ha … ha … “
“Siapa takut?!!” Goda Rindu. Rindu sebenarnya berpikir juga dengar kata-kata Andino barusan. Ia juga bimbang dengan keputusannya. Sebuah pertanyaan mendera hatinya. Yang
sebenarnya dirinya seorang yang teguh memegang prinsip atau keras kepala? Dalam hatinya gemuruh siapa lagi yang bisa ia ajak berbagi. Ayahnya jauh merantau di Jakarta. Kakek neneknya yang tinggal satu rumah, terlalu tua untuk berbagi. Mengapa ia mengabaikan nasihat Andino, salah seorang yang kini mulai mengisi relung hatinya.
“Kok diam, Rin …”
“Memikirkan saranku ya …” lanjut Andino
“Tambah cantik lho, kalau tampil dengan rambut pendek seperti peserta paskibra lainnya”, Rayu Andino untuk terakhir kalinya.
Rindu tetap kukuh dengan keputusannya. Malam ini ia tidur diiringi dengan lagu keroncong kemerdekaan yang sayup-sayup sampai dari perempatan jalan dekat rumahnya.
***
Pukul delapan tanggal 17 Agustus 2011. Satu-satu petugas paskibra datang di pendopo kecamatan. Semua menata diri. Berpakaian putih-putih dengan balutan kain merah di leher. Yang laki-laki mematut-matut peci di kepala. Sementara yamg perempuan sedikit berhias dibantu dengan guru pendamping.
Ada satu yang belum tampak di antara semua yang sedang mempersiapkan diri. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewatnya tiga puluh satu menit. Semua sibuk. Tak ada yang tahu bahwa ada satu petugas yang belum datang di pendopo kecamatan. Rindu belum ada di keramaian itu.
Andino sudah berdandan rapi
Ia gelisah.
Pelatih paskibra mendekati dirinya. Menanyakan Rindu yang terlambat datang. Khasak-khusuk terdengar di antara pasukan yang berdandan. Rindu tidak datang. Andino mencoba menghubungi lewat telepon gengam tapi tidak mendapatkan jawaban. Semua gelisah. Takut melihat pelatih yang bermuka masam.
Pukul delapan lebihnya tiga puluh lima menit semua peserta dikumpulkan. Ada yang sudah rapi berdandan. Beberapa masih perlu penyempurnaan.
“Koordinasi sebentar. Nanti lanjutkan berdandan”. Semua sigap dalam nuansa ketakutan. Beberapa detik pasukan telah berbaris rapi di bawah komando Andino. Pelatih menunjuk pengganti Rindu untuk siap mental bila Rindu benar-benar tidak datang. Ada nada kesal, marah, dan dendam di suara parau pelatih yang berdiri gagah. Andino benar-benar tidak nyaman. Ia berharap Rindu segera datang, walaupun nantinya Rindu akan mendapat marah besar dari banyak pihak. Andino nyaris tidak begitu mendengar setiap kata koordinasi dari sang pelatih. Hatinya galau
Pukul delapan lebihnya empat puluh dua menit, seiring berakhirnya acara koordinasi ada deru sepeda motor memasuki pelataran kecamatan. Seorang gadis turun dari sepeda, helm masih menutup kepalanya.
Gadis itu, Rindu.
Puluhan pasang mata menatap kesal dan marah pada perempuan yang berusaha melepas helm yang masih bersarung di kepala. Pelatih sengaja membuang muka. Terlihat sekali nuansa marah menghias wajahnya.
Helm sudah terlepas dari kepala Rindu. Aliran darah seketika berhenti demi melihat Rindu. Rambutnya pendek. Cantik sekali. Peserta perempuan berhamburan sambil meneriaki nama Rindu dan mengerubutinya.
“Alhamdullilah Rin … kamu datang”
“Cantik sekali kamu. Belum terlambat kok ayo berdandan”.
Rindu sudah datang. Udara di pelataran kecamatan berubah jadi lapang penuh rasa memaafkan. Tak ada yang bertanya mengapa Rindu berubah pikiran. Andino pun tidak merasa jadi pahlawan. Ia hanya bersyukur, menangis dalam hati demi melihat binar-binar rona gembira di wajah sang pelatih.
“Terima kasih ya Allah. Ini tanggal 17 Agustus sekaligus 17 Ramadhan. Hari yang begitu istimewa. Hari kemerdekaan sekaligus nuzulul Qur’an. Indah dan damai sekali hari ini …”, bisik Andino dalam hati.
Rindu sudah selesai berdandan.
Tepat pukul Sembilan pasukan siap melakukan acara serah terima bendera dari bapak Camat ke petugas bendera untuk dibawa ke lapangan dan dikibarkan.
Detik-detik itu telah tiba. Pukul sepuluh kurang lima belas menit bendera selesai dikibarkan. Rindu berada diantara puluhan tugas pengibar bendera. Ia benar-benar bintang kali ini. Sukses mengibarkan bendera tinggi-tinggi di bawah komando Andino. Pukul sepuluh tepat, detik-detik proklamasi berkumandang ada bendera melambai terus melambai di tengah lapangan upacara.
Merah putih teruslah kau berkibar.
Catatlah ini sebagai sebuah pengorbanan, walau tak seberapa.
-Selesai –
Slogohimo, 18 Agustus 2011
PUISI 3 BAHASA PERINGATAN HUT KE-77 RI
Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia tercinta tahun 2022 ini, beberapa guru SMA Negeri 2 Wonogiri mempersembahkan tiga karya puisi dalam tiga bahasa berbeda, Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Puisi berbahasa Jawa berikut ini merupakan buah pena Ibu Sri Pangati, S,Pd, salah satu guru Bahasa Jawa kebanggaan SMA Negeri 2 Wonogiri. Membawa kita merenung akan besarnya jasa pahlawan yang kadang terlupakan. Mengajak kita untuk mengisi kemerdekaan dengan cara terbaik, tanpa merasa menjadi si paling pintar atau paling merasa benar. Dengan watak ksatria, negara kita akan langgeng dalam kejayaan.
Pengetan Kamardikan
Biyen bangsaku gemah ripah loh jinawi
Ketekan Walanda kang gawe prahara
Nyilakani rakyat kang karep mardika
Dadekake uripe wong padha sengsara
Akeh pejuang sing wutah ludira
Ngurbanake jiwa raga lan bandha donya
Kanggo nggayuh kamardikan bangsa
Pitung puluh pitu taun kepungkur
Proklamasi diwacakake
Gendera abang putih dikibarake ing angkasa
Tandha negara wis mardika seko regemane negara manca
Apa kowe kabeh wis padha ngerti?
Pahlawan iku ora oleh apa-apa saka negarane
Ora mung kiriman donga lan kembang
Nanging uga apa sing bisa diurunke marang negara
Indonesia saiki wis mardika
Akeh sing pinter, nanging sithik sing pener
Kabeh pada rebut bener
Dadekake uripe keblinger
Dadia para mudha taruna
Dadia para ksatria
Sing Bisa ngisi kamardikan
Lan bisa njaga langgenging negara
(Dening Sri Pangati. Wonogiri, 17 Agustus 2022)
Selanjutnya mari kita nikmati perjalanan puisi kemerdekaan kita dengan sebuah puisi dari Bp. Mrih Kuwato,M.Pd berikut ini. Beliau yang merupakan guru Geografi senior di SMAN 2 Wonogiri menuliskan sebuah puisi indah untuk menghargai besarnya jasa pahlawan negara kita.
UCAP PAHLAWAN ANDAI HIDUP DI HARI INI
Oleh: Bp. Mrih Kuwato, M.Pd.
Bak permadani telah tergelar di seluruh penjuru negeri Apa yang dilihat hampir semua kau dapat Apa yang diangankan mudahnya sampai tangan Nikmat manakah yang engkau ingkari? Pejuang negeri ini makin tak kau kenali lagi? Heh… Makin asyik saling hujat Makin biasa makshiat Syukur atau khianat?
Andai aku hidup hari ini Lihat prilaku bangsa kami Menangislah mata ini Perjuangan panjang ini Banyak yang rela menodai
Korting hukuman sana sini Korup pun makin ngeri Tindak kriminal menjadi jadi Hujatan pun tak terkendali Inikah misi perjuangan kami Oh anak negeri henti….henti
Sungguh cukup sahaja Jika mau kau semua Perilaku akhlak mulia Isi buat Indonesia merdeka Rukun kompak kerjasama Dan tak mudah menghina Niscaya Jaya di depan mata ***
Puisi berikut berbahasa Inggris , berjudul Song of Freedom yang berarti nyayian perdamaian. Mengemukakan indahnya makna perdamaian yang sebenarnya, bukan sekedar nada indah eforia sesaat di bulan Agustus. Memaknai melodi indah perdamaian hanya akan terdengar saat kita berhenti saling menghakimi, membebaskan rasisme di hati kita. Yang diperlukan negara ini adalah alunan nyanyian kemerdekaan yang dinyanyikan dengan saling bergandeng tangan dalam persatuan dan perdamaian untung saling peduli satu sama lain.
Song of Freedom By Misis Dewi Apriliana
The melody of freedom beats louder
Echoing through the hills and rivers
Louder, faster!
Yet, freedom is not only a happysong
Not only be as free as the wind blows
Feel it, let it glows!
Can you feel it deep inside you?
Freedom is when racism’s free from our soul
Its rhythm will harmoniously flows
As we stop judging others
As we care enough for the living
As we live in peace in unity
Let’s run faster hands in hands
Reach the glory of our nation
The Wonderful Indonesia.